SIDIK KASUS – Menulis itu seperti berkebun di belakang rumah. Jika serius dan tekun dilakukan, kelak pasti ada yang bisa dipanen, seperti sayur mayur dan keperluan dapur yang paling sederhana sekalipun. Bisa jadi kalau berlebihan dapat dibagikan juga kepada tetangga di kiri dan kanan rumah. Boleh juga untuk tetangga di depan rumah yang sering berkirim panganan juga saat berkelebihan. Jadi menulis itu seperti berkebun untuk menjaga jiwa dan raga agar tetap sehat.
.Hasrat menulis pun, tidak perlu disumbat. Dia hanya perlu disalurkan dengan baik dan indah seperti mata air di telaga yang perlu disalurkan secara alami mengikuti irama alam yang sesungguhnya tidak bisa dihentikan oleh siapa pun. Itu sebabnya banyak penulis yang menghasilkan karya masterpiece di dalam penjara. Sebab selama dalam tahanan itu memiliki banyak kesempatan untuk merenung dan memikirkan hal-hal yang tidak sempat dipikirkan sebelumnya.
Bentuk pilihan tulisan pun bisa dari yang paling sederhana. Karena kemampuan menulis hal-hal yang tidak rumit itu memiliki keunikan serta daya tarik tersendiri. Masalahnya tinggal bagaimana cara menerasikannya agar tulisan itu enak dan perlu seperti slogan media mainstream di Indonesia cukup memiliki nama beken dan populer sebagai bacaan standar mereka yang terbilang pandai dan pintar.
Sebab menulis itu penting dan perlu, tidak hanya sekedar untuk menjaga akal sehat, tetapi juga menjaga stabilitas diri agar tidak egoistik — ketika kritik berdatangan — atau bahkan hujatan dan ejekan yang tak semua orang punya kesanggupan untuk menerimanya. Jadir jelas, menulis itu penting dan perlu untuk menjaga daya analisa serta memberi semangat dalam mendapatkan info terbaru atau semacam perkembangan dunia dalam sekala lokal, nasional maupun internasional. Karena informasi — bahkan komunikasi dan publikasi yang dapat dibangun melalui tulisan — mampu membuka dan memperluas cakrawala berpikir untuk kemudian mengambil keputusan dalam menyikapi masalah yang terus muncul dan baru tampilannya melalui media sosial yang telah menghapus jarak pemisah dan sekat-sekat penghambat untuk mengetahui semua perkembangan dan pergolakan se jagat tanpa batas.
Artinya, pilihan topik atau tema tulisan pun sungguh banyak tersedia sekarang. Tidak seperti 30 tahun dan 50 tahun yang lalu, hanya warga masyarakat elite saja yang mempunyai akses untuk mendapat informasi, melakukan komunikasi dan publikasi seperti yang dilakukan para jurnalis yang mampu memposisikan diri dalam kaliber kelas dunia.
Sekarang — hari ini — semua itu bisa dilakukan oleh siapa saja yang mau dan mampu dengan cara mendidik diri untuk menekuni dunia tulis menulis yang masih acap dianggap pekerjaan kaum cerdik pandai semata. Padahal, ibu-ibu pun sambil bekerja di dapat dapat memperluas cakrawala berpikir dan wawasan daya telaahnya sampai ke medan perang di belahan benua yang jauh saat itu juga melalui siaran langsung yang sedang terjadi saat itu juga.
Hasrat menulis pun, tidak perlu disumbat. Dia hanya perlu disalurkan dengan baik dan indah seperti mata air di telaga yang perlu disalurkan secara alami mengikuti irama alam yang sesungguhnya tidak bisa dihentikan oleh siapa pun. Itu sebabnya banyak penulis yang menghasilkan karya masterpiece di dalam penjara. Sebab selama dalam tahanan itu memiliki banyak kesempatan untuk merenung dan memikirkan hal-hal yang tidak sempat dipikirkan sebelumnya.
Bentuk pilihan tulisan pun bisa dari yang paling sederhana. Karena kemampuan menulis hal-hal yang tidak rumit itu memiliki keunikan serta daya tarik tersendiri. Masalahnya tinggal bagaimana cara menerasikannya agar tulisan itu enak dan perlu seperti slogan media mainstream di Indonesia cukup memiliki nama beken dan populer sebagai bacaan standar mereka yang terbilang pandai dan pintar.
Pilihan jenis dan bentuk tulisan boleh sesuka hati. Mulai dari berita yang paling sederhana (News dengan rumus 5W + 1 H) hingga ulasan atau opini dan kisah tentang apa saja yang menarik dan perlu untuk diketahui oleh orang lain. Termasuk pekabaran yang paling sederhana untuk keluarga di kampung misalnya tentang rencana dari salah satu anggota keluarga yang hendak menikah, tetap perlu memenuhi syarat minimal pemberitaan seperti 5W + 1H tadi. Selebihnya boleh ditambah sendiri agar lebih enak dan komunikatif dalam penyampaiannya ketika dibaca oleh siapapun.
Penegasan untuk syarat minimal dari kelengkapan pemberitaan ini — termasuk puisi — perlu dan penting agar tidak seperti pemberitahuan tentang wafatnya seorang kawan yang tidak jelas kapan, dimana dan kapan akan disemayamkan. Lantaran pemberitaan yang tidak memenuhi syarat minimal ini, akan sangat mengganggu dan membuat si penerima harus bertanya ke sana dan kemari hingga acap jadi menambah rumit dan bingung bagi orang yang membacanya.
Karena itu menulis menjadi sangat penting dan perlu, setidaknya untuk sekedar berkabar. Apalagi dapat diyakini bahwa menulis itu juga untuk menjaga agar akal tetap sehat sekaligus menjaga stabilitas diri agar tidak egoistik — ketika dikritik — atau bahkan saat dihujat serta diejek, karena tidak semua orang punya kesanggupan untuk menerima cercaan, tapi lebih suka dapat pujian. Jadi jelas, hasrat untuk menulis itu penting dan perlu guna menjaga daya analisis yang kritis serta memberi semangat untuk memperoleh info terbaru atau semacam perkembangan dunia dalam sekala lokal, nasional maupun internasional. Karena informasi — bahkan komunikasi dan publikasi yang dapat dibangun melalui tulisan — mampu membuka dan memperluas cakrawala berpikir untuk kemudian mengambil keputusan dalam menyikapi masalah yang terus muncul dan baru tampilannya melalui media sosial yang telah menghapus jarak pemisah dan sekat-sekat penghambat untuk mengetahui semua perkembangan dan pergolakan se jagat tanpa batas.
Artinya, pilihan topik atau tema tulisan pun sungguh banyak tersedia sekarang. Tidak seperti 30 tahun dan 50 tahun yang lalu, hanya warga masyarakat elite saja yang mempunyai akses untuk mendapat informasi, melakukan komunikasi dan publikasi seperti yang dilakukan para jurnalis yang mampu memposisikan diri dalam kaliber kelas dunia.
Sekarang — hari ini — semua itu bisa dilakukan oleh siapa saja yang mau dan mampu dengan cara mendidik diri untuk menekuni dunia tulis menulis yang masih acap dianggap pekerjaan kaum cerdik pandai semata. Padahal, ibu-ibu pun sambil bekerja di dapat dapat memperluas cakrawala berpikir dan wawasan daya telaahnya sampai ke medan perang di belahan benua yang jauh saat itu juga melalui siaran langsung yang sedang terjadi saat itu juga.
Seorang wartawan perang, toh tidak semata-mata hanya bisa melaporkan kondisi dan situasi peperangan itu untuk media massa saja. Tapi mereka yang kreatif dan inovatif mampu menuliskan pandangan matanya dari suasana perang itu dalam bentuk puisi, cerita pendek atau bersambung hingga kisah derita dan nestapa dari warga masyarakat sekitarnya yang ikut menderita karena perang terus berkecamuk dan tak kunjung selesai.
Bentuk tulisan yang lebih serius misalnya tentang ulasan yang lebih investigatif reporting hingga analisis sepenuhnya dari sang penulis yang mampu melihat suatu kejadian itu dari perspektif yang lain, karena perlu dan penting untuk diketahui oleh orang banyak untuk menjadi bahan perenungan bahwa sesungguhnya dunia ini mendambakan kedamaian.
Dalam pemikiran dan gagasan yang lebih sederhana, bisa saja kita yang hidup di negeri setengah nyaman ini menulis tentang kesadaran kolektif yang perlu dibangun dengan kebersamaan agar hidup dan kehidupan warga masyarakat sekitar kita dapat lebih tertib dan merasa aman dan nyaman, meskipun pemerintah tidak sepenuhnya mampu memberi pelayanan seperti kewajiban yang telah dipatok dalam konstitusi kita, yaitu mengatasi masalah kemiskinan dan berupaya meningkatkan kecerdasan bangsa.
Lalu silang sengkarut tentang tata laksana berbangsa dan bernegara yang rusak dapat diperbaiki dengan menumbuhkan gerakan kesadaran dan pemahaman tentang kecerdasan spiritual sebagai pengasuh etika, moral dan akhlak yang menjadi biang keladi dari kerusakan mengurus negeri ini.
Bisa dibayangkan, mereka yang diharap dapat menjaga, mengasuh dan mengelola serta melayani kepentingan rakyat justru berada di seberang sana, tak pernah mau untuk memposisikan diri untuk melindungi, mengayomi dan melindungi mayarakat yang perlu direnungkan oleh para aparatur negara yang sangat terkesan belum selesai untuk menertibkan dirinya sendiri.
Oleh karena itu — menulis sebagai bagian dari pekerjaan yang positif — kreatif, inovatif dan inventif — dapat dikembangkan agar dapat memberi masukan, gagasan serta kritik (sebagai upaya untuk melakukan perbaikan) patut dibangun dan dikembangkan guna memberi manfaat lebih banyak bagi orang banyak. Bukan untuk popularitas dan pencitraan diri yang tidak perlu.
Adapun media yang cukup banyak tersedia dan terbuka itu diantaranya adalah whatsapp, facebook dan sejenis media lain yang berbasis internet dapat dimanfaatkan sebaik-baik mungkin. Semua terbilang murah meriah, hanya dengan pulsa setara harga beras satu kilo gram, sudah dapat berselancar seharian penuh melakukan kontak dengan ratusan relasi, kawan dan saudara sekalian di kampung. Tentu saja semua itu tetap harus berpegang pada tata kerama dan etika serta tuntunan moral dan akhlak yang hanya mampu diasuh oleh kecerdasan, kemampuan dan pemahaman spiritual yang cukup. Pendek kata, menulis dengan basis kecerdasan spiritual itu sangat penting dan perlu dilakukan sekarang ini. Dimana krisis etika, moral dan akhlak para kaum intelektual pun telah menjadi monster yang menakutkan
Tangerang, 15 Oktober 2024
*Paparan singkat ini adalah materi pengantar untuk pelatihan jurnalis terpakai yang dilaksanakan Atlantika Institut Nusantara bersama Jurnalis Indonesia Bersatu di Tangerang, 15 Oktober 2024*