TEMPOEPOS – BANTEN – Masalah etika, moral dan akhlak manusia Indonesia yang rusak, tidak hanya sebatas mengobrak-ambrik tata aturan politik, ekonomi, lingkungan, tata negara dan upaya membangun bangsa, tapi semakin mendorong hasrat bersaing untuk lebih mengunggguli pihak lain. Itulah sebabnya, gengsi untuk dapat mempunyai sejumlah gelar akademis, gelar adat, gelar bidang keagamaan, menjadi marak. Meski bobot dari orang yang bersangkutan tidak memadai untuk menyandang gelar yang dia peroleh itu. Entah dengan cara membeli atau sogok menyogok guna mempermudah mendapatkan gelar tersebut. Sehingga nilai tebusannya pun tak lagi me jadi soal. Sebab semua itu demi dan untuk menaikkan great gengsi sekedar untuk mengelabui orang lain.
Jadi gelar yang menjadi trend memabukkan banyak orang di Indonesia ini sesungguhnya tidak lebih dari asesoris penghias diri untuk dapat tampil lebih memukau siapa saja yang bisa merasakan kekaguman dari beragam gelar yang tertempel di depan maupun di belakang nama agar dapat mendatangkan citra dari siapapun. Maka itu budaya basa-basi untuk menyebut nama seseorang dengan tambahan gelar yang dianggap bergengsi itu mulai menjadi kebiasaan yang tumbuh dalam masyarakat kita.
Penulis pun — yang tidak pernah menempelkan satu gelar apapun di depan nama maupun di belakang — acap dipanggil dengan tambahan gelar tertentu, baik yang berasal dari perguruan tinggi maupun dari bidang keagamaan. Bahkan, tidak pula sedikit yang menyebutkan nama penulis dengan gelar adat yang mereka peroleh secara spekulatif, sehingga tidak pas pengucapan dalam adat dan budaya masyarakat yang mereka perkirakan.
Gelar yang memabukkan itu, sesungguhnya cermin dari perasaan tidak percaya diri untuk tampil dengan kepribadian yang asli dan otentik sebagai manusia yang telah memiliki nama besar dan baik, manakala apa yang sudah dilakukannya mendapat apresiasi dan penghormatan serta penghargaan dari orang lain. Seorang teman semasa kuliah dahulu kini telah memiliki seabrek gelar akademik tertinggi — bahkan dari masyarakat adat asalnya — toh, tidak satu pernah dia pasang di depan maupun di belakang. Termasuk saat dia pulang dari Tanah Seci sesuai menjalankan rukun Islam yang kelima, tidak juga berhasrat menempelkan gelar haji di depan nama nya yang sudah beken dan terkenal itu.
Dalam rukun Islam memang ada lima prinsip dasar yang harus diyakini dan dilakukan oleh umat. Islam, yaitu membaca dua kalimat syahadat, sebagai pengakuan terhadap Allah SWT dan Nabi besar Muhammad SAW sebagai Rasul Allah. Lalu mendirikan sholat, membayar zakat dan menunaikan puasa pada bulan ramadhan serta melaksanakan ibadah haji ke Mekkah.
Meskipun kawan tadi sudah berulang kali melaksanakan ibadah haji ke Mekkah itu, toh gelar yang sering ditempelkan banyak orang di depan namanya itu dengan gelar “Haji” atau “Hajjah” untuk perempuan tidak pernah tertera bersama namanyas yang sederhana dan terkesan sungguh ugahari itu. Padahal, kalau saja dia mau memajang semu gelar yang dianggap banyak orang mampu menaikkan gengsi atau harkat dan martabat dirinya, mungkin panjangnya akan menjadi nama terpanjang di dunia, seperti nama-nama raja yang pernah ada.
Jadi gelar apapun namanya itu, hanya pantas disebut dan diakui oleh orang lain, bukan ngegragas dengan kemauan sendiri. Sebab kalau dengan menyebut sendiri sejumlah gelar yang bisa dimiliki oleh banyak orang ini, akibatnya bisa dianggap tidak tahu malu, atau bahkan akan mengesankan
kesombongan diri. Apalagi kemudian, bobot yang ada di dalam gelar itu tidak bisa dibuktikan kualitas dan kepiawaian yang bisa dinikmati oleh orang lain. Alias gelar sepuhan, seperti cincin atau gelang dan kalung imitasi.
Kawan penulis yang bijak tadi itu berpendapat bahwa gelar Imitasi itu adalah bagian dari fenomena etika, moral dan akhlak yang bobrok. Karena itu, kesadaran serta pemahaman spiritual sebagai pengasuh etika, moral dan akhlak mulia manusia perlu terus disemai agar dapat terus bertumbuhan di taman hati yang indah dalam hidup dan kehidupan ini.
Banten, 18 Oktober 2024